Keterwakilan Perempuan dan Sosiologi Politik Islam
Oleh: Abdul Mundlir*
halopantura.com – Persoalan keterwakilan perempuan selalu menjadi sorotan disetiap perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Kendati demikian, sejak perhelatan Pemilu pertama Tahun 1955 hingga Pemilu terakhir 2019, jumlah keterwakilan perempuan terus meningkat, namun tetap belum memenuhi amanat dari Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang menetapkan sedikitnya 30% dari jumlah keterwakilan.
Dilansir dari website mpr.go.id, pada Pemilu 2019, keterwakilan perempuan mencapai angka 20,8% atau 120 anggota legistatif perempuan dari 575 anggota DPR RI. MPR juga menyebut bahwa keterwakilan perempuan dalam politik penting untuk memastikan suara, aspirasi dan kepentingan perempuan diakui dan diwakili secara adil. Hal itu juga menunjukan bahwa keterwakilan perempuan dalam politik berkorelasi dengan kebijakan yang lebih inklusif dan beragam.
Tentu dinamika politik yang berkembang terus menjadi tantangan tersendiri bagi politisi perempuan untuk merebut hati masyarakat. Indonesia yang menjadi negara populasi muslim terbesar di dunia selalu diidentikan dengan masyarakat patriarki. Maka dari itu sekiranya perlu mengulas sosiologi politik Islam di Indonesia yang berangkat dari perjalanan sejarah bangsa.
Secara harfiah, Prof. Damsar dalam buku Sosiologi Politik karya Susi Fitria Dewi (2017) mengurai bahwa sosiologi politik adalah ilmu yang mempelajari masyarakat di mana di dalamnya terdapat proses dan pola interaksi sosial, dalam hubungannya dengan politik. Masyarakat menuntun individu untuk melakukan kegiatan politik berdasarkan norma, etika adat dan hukum yang berkembang di masyarakat.
Dari definisi itu, dapat dimaknai bahwa bangunan politik yang konvergen kepada bangunan kenegaraan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dari tingkat pusat hingga daerah harus mengacu pada norma, etika dan adat istiadat yang berkembang di masyarakat. Terlebih sistem kenegaraan di Indonesia memiliki keunikan tersendiri ketika mengacu pada sejarah yang kemudian termanivestasi dalam Pancasila dan UUD 1945. Hal itu diperjelas melalui paham integralistik yang dicetuskan oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI tahun 1945.
“Jika kita hendak mendirikan negara yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (Staatsidea) negara yang integralistik yang mengatasi seluruh golongan-golongan dalam lapangan apapun. Menurut pemikiran aliran ini, kepala negara dan badan-badan pemerintah lain harus bersifat pemimpin yang sejati, penunjuk jalan ke arah cita-cita luhur yang diidam-idamkan oleh rakyat. Negara harus bersifat “badan penyelenggara”, badan pencipta hukum yang timbul dari sanubari rakyat seluruhnya. Dalam pengertian ini, menurut teori ini yang sesuai dengan semangat Indonesia yang asli, negara tidak lain ialah seluruh masyarakat atau seluruh rakyat Indonesia sebagai persatuan yang teratur dan tersusun”.
Secara umum, pernyataan itu seakan telah melegitimasi masyarakat patriarki dan feodalistik yang sudah tumbuh subur secara lama di era kolonial. Namun tidak demikian realitanya, di Indonesia justru perjuangan dalam memperoleh kemerdekaannya banyak diwarnai peran kaum hawa dalam berbagai dinamikanya.
Fakta sejarah mengungkap perjuangan Laksamana Malahayati, Ratu Kalinyamat, Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien dan lainnya sudah mengangkat senjata untuk mengusir penjajah. Masuk ke era pergerakan nasional terdapat tokoh-tokoh seperti RA Kartini, Dewi Sartika, HR Rasuna Said dan lainnya yang fokus membangun pendidikan sebagai cikal bakal kesadaran dalam gerakan politik.
Parawansa (2002) pernah mengulas bahwa sejarah tentang representasi perempuan di parlemen Indonesia merupakan sebuah proses panjang, tentang perjuangan perempuan di wilayah republik. Kongres wanita Indonesia pertama, pada Tahun 1928 membangkitkan kesadaran dan meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan perempuan merupakan tonggak sejarah, karena berperan dalam meningkatkan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk dalam politik.
Peran perempuan Indonesia dalam perjuangan dan pembangunan tentu tidak bisa dianggap remeh temeh. Peranannya baik yang tampak ke permukaan (terjun sebagai seorang politisi, public figure) maupun yang berada di balik layar (di belakang seorang suami yang menjadi tokoh politik dsb, mendidik keluarga) sangatlah besar dalam membangun peradaban.
Legitimasi itu kian kuat ketika Kuntowijoyo dalam Jurdi (2010) merekonstruksi paradigma Ilmu Sosial Profetik yang bersumber pada Surat Ali Imran ayat 110 yang berbunyi “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah”.
Menurut Kuntowijoyo terdapat lima makna filosofis yang terkandung di ayat ini yaitu (1) “Masyarakat Utama” (khairu ummah), (2) “Kesadaran Sejarah” (ukhrijat linnas), (3) “Liberasi” (amr ma’ruf), (4) “Emansipasi” (nahy munkar), dan (5) “Trandensi” (al iman billah).
Dalam konteks tersebut, tentu tidak bisa diartikan bahwa ayat itu dan tugas tersebut hanya dibebankan kepada kaum laki-laki saja. Kaum perempuan juga memiliki peran dan keduanya baik kaum laki-laki maupun perempuan harus bahu-membahu dan gotong royong untuk mengaktualisasikan amanat dalam ayat itu.
Zilfia (2023) menegaskan bahwa perempuan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Allah berfirman, sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain. (QS. Ali Imran: 195). Al Imam AthThabari dan al-Imam Ibnu Hazm memperbolehkan kaum perempuan untuk berkecimpung dalam masalah-masalah jinayat dan masalah-masalah lainnya. Perempuan menjadi pemimpin dan publik figur jika demi kemaslahatan juga tidak perlu dipermasalahkan.
Berkaca pada peranan Khatijah di awal kenabian Rasulullah S.A.W, juga terbilang besar dalam urusan politik dan penyebaran pengaruhnya. Seorang aktivis perempuan asal Maroko, Fatima Mernissi dalam karyanya berjudul “The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam”, mencatat bahwa Khadijah bukan hanya seorang saudagar ‘tajir melintir’ belaka, tetapi juga sosok yang dihormati dan disegani di komunitasnya karena kecerdasan, integritas, dan keterampilan kepemimpinannya di ruang publik. (Arifka, 2023).
Shaykh Abdulqadir As-Sufi pada acara pembukaan The Lady Aisha College, 1 Februari 2014 menyatakan “…So one has to realise that power is responsibility and pretending that women do not have power is a lie against natural life. Because domestically and in the household one knows that that simply is not true. Also for men it is difficult to deal with the fact that one of the instruments of power of the woman is that she can play being helpless…”.
Dari pernyataan itu jelas bahwa perempuan memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Hal tersebut perlu disinergikan dalam menjaga tatanan keimanan di keluarga serta masyarakat untuk menuju peradan Islam yang besar. Sebagaimana telah diriwiyatkan melalui kiprah Aisyah, seorang istri Rasulullah yang sudah mendermakan hidupnya dalam membangun peradaban Islam baik pada masa Nabi maupun pasca Nabi wafat.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Aisyah pernah menjadi diplomat yang menemui Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib ra. untuk memastikan hukuman yang setimpal bagi pelaku pembunuhan terhadap Amirul Mukminin Utsman Bin Affan ra. Namun karena kondisi yang penuh dengan fitnah dan adu domba, upaya Aisyah saat itu justru menyeret pada konflik yang lebih luas terhadap Ali Bin Abi Thalib yang berujung ada perang Jamal.
Aisyah pun menyesali dengan adanya perang tersebut. Ia mulai terbuka matanya bahwa ada pihak-pihak yang memprovokasi agar perang terjadi, yang mana seharusnya dapat dihindari (Tamami, 2022).
Sikap Aisyah sebagai seorang politisi yang juga merangkap panglima perang itu sangat bijak ketika meminta para pihak untuk menahan diri dan introspeksi agar tidak terjadi perpecahan umat Islam lebih luas.
Tantangan Perempuan Pada Pemilu 2024
Begitulah adab yang bisa diambil dari dua istri nabi yakni Khatijah dan Aisyah saat melakukan perannya sebagai tokoh politik di masanya. Sudah seharusnya para politisi perempuan di Indonesia juga memiliki sikap demikian dalam menjaga persatuan bangsa.
Seperti yang diusulkan oleh Soepomo di awal tulisan ini, bahwa sosok yang mengisi badan-badan pemerintahan harus merupakan pemimpin yang sejati. Hal itu bisa berlaku baik laki-laki maupun perempuan.
Pengertian ‘sejati’ tentunya dijelaskan juga oleh Soepomo yakni sebagai penunjuk jalan ke arah cita-cita luhur yang diidam-idamkan oleh rakyat. Maka dengan kemampuan afektif dan kognitifnya, calon anggota legislatif atau calon kepala daerah bahkan calon presiden/wakil presiden perempuan bisa menyerap aspirasi masyarakat dengan baik.
Bukan tidak mungkin keterwakilan perempuan dapat bertambah di Pemilu 2024, bahkan bisa melebihi jumlah 30% sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Pemilu. Secara sosiologi politik Islam yang bersifat objektif, siapapun figur yang mampu membawa kemaslahatan umat, masyarakat secara ikhlas akan mengusungnya menjadi pemimpin. Secara sederhanya, tujuan kemaslahatan sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945 Alinea II yakni “…mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Visi itu harus dijalankan oleh pemimpin yang menjabat dengan melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Alinea IV Pembukaan UUD 1945).
Amanat itu yang seharusnya dipikul oleh para politisi perempuan dengan mengejawantahkannya ke berbagai program riil untuk mewujudkan 5 makna filosofis yang diulas Kuntowijoyo dalam mencapai peradaban yang hakiki. Visi misi luhur itu juga berlaku untuk politisi perempuan non muslim, mengingat universalitas sudah terkandung dalam Alinea Pembukaan UUD 1945.
Sudah sepatutnya objektivitas juga dibangun untuk para pemilih di setiap perhelatan Pemilu. Para pemilih harus mulai cerdas dalam menentukan pilihannya, tidak terjebak dalam pemahaman-pemahaman sempit bernegara, terlebih masalah gender. Tujuan Pemilu selain untuk memilih para pemimpin, juga untuk mewujudkan cita-cita bangsa dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
*Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Plumpang, Kabupaten Tuban, Tahun 2023 – sekarang.
*Wakil Sekretaris Umum MD KAHMI Tuban Tahun 2022 – sekarang.