MEMAKNAI PROGRAM SERTIFIKASI TANAH: ANTARAPENGUATAN DAN POTENSI HILANGNYA HAK ATAS TANAH

Oleh: Fauzin*

halopantura.com – Sejak tahun 2017, program Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap (PTSL) telah dilaksanakan. Program ini merupakan program sertifikasi hak atas tanah secara “berjamaah” dan menjadi bagian dari program prioritas nasional Pemerintahan Presiden Joko Widodo di periode keduanya.

Hingga tahun 2020, program PTSL telah melakukan proses sertifikasi kurang lebih 82 juta bidang tanah telah didaftarkan dari total 126 juta bidang tanah yang ada di Indonesia dan tanah yang belum didaftar sekitar 35 persen. Sementara pelaksanaan program PTSL di Kabupaten Lamongan hingga tahun 2020 telah menyelesaikan SHAT sebanyak 154.500 dengan total 213.076 bidang tanah yang tersebar di 207 desa. Pencapaian Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lamongan mendapatkan apresiasi dari Menteri Agraria dan Tata Ruang.

Dibalik pencapaian pelaksanaan program PTSL tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang perlu menjadi perhatian semua pihak. Dimana berdasarkan informasi dari berbagai sumber media dan informasi dari masyarakat, bahwasanya terdapat permasalahan yang diantaranya permasalahan besaran pembiayaan persiapan pendaftaran tanah sistematis yang harus ditanggung Pemohon PTSL yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Beredar kabar, Pemohon PTSL di beberapa desa membayar lebih dari seratus lima puluh ribu rupiah kepada panitia atau pihak pemerintah desa yang mengurusi PTSL ditingkat desa. Padahal, jika mengacu pada ketentuan Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis, bahwa besaran biaya yang diperlukan yakni sebesar Rp. 150.000,00 untuk wilayah Jawa dan Bali. Keputusan Bersama Tiga Menteri ini diterbitkan sebagaimana dirumuskan dibagian konsiderans menimbang adalah dalam rangka penyeragaman pembiayaan persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap oleh pemerintah dan membebaskan pembiayaannya bagi masyarakat, perlu dilakukan penyeragaman biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan pengaturan sumber pendanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang  tidak tertampung dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Beragamnya besaran biaya yang harus ditanggung oleh Pemohon PTSL sebagai akibat dari minimnya sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis. Selain itu, keterbukaan mengenai besaran pendanaan yang bersumber dari anggaran negara atau sumber-sumber lain yang sah yang bukan dari Pemohon PTSL sepertinya menjadi bagian penting sebagai bentuk pencegahan penyelewengan program prioritas nasional ini.

Berikutnya, permasalahan pemaknaan keberadaan sertifikat hak atas tanah dari masyarakat. Secara normatif, menurut Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Pasal 1 angka 14 bahwa yang dimaksud dengan Sertifikat Hak atas Tanah adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria untuk Hak atas Tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Pendaftaran tanah merupakan perintah UUPA yang sudah diundangkan sejak tahun 1960 di era Presiden Soekarno. Guna untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Berbagai kebijakan diterbitkan oleh Pemerintah sebagai implementasi dari perintah yang telah dirumuskan dalam UUPA. Diantaranya kebijakan Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) dan kemudian terbit kebijakan yang dikenal dengan Program PTSL. Semuanya menjadi bagian implementasi UUPA.

Sertifikat tanah secara normatif untuk menjamin kepastian hukum, menjadi tanda bukti hak dan sebagai alat pembuktian yang kuat. Pemilik sertifikat tanah memiliki kedaulatan penuh untuk mengelolanya atau bahkan menjualnya. Sertifikat tanah juga menjadi dokumen yang dapat menjadi agunan pengajuan peminjaman uang di perbankan. Jika pemaknaan sertifikat hak atas tanah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, maka terbitnya sertifikat tersebut bermakna penguatan hak atas tanah buat masyarakat sebagai pemilik tanah.

Perlu edukasi buat masyarakat ketika sudah memiliki dan memegang dokumen sertifikat tanah sebagai bagian dari pencegahan penggunaan yang kurang tepat dan berpotensi merugikan pemilik tanah, baik dalam jangka waktu yang pendek maupun dalam jangka waktu yang panjang. Ancaman gaya hidup masyarakat yang konsumtif dapat berpotensi penyalahgunaan dokumen sertifikat tanah. Kepemilikan dokumen sertifikat tanah memberikan kemudahan proses pengalihan hak, baik dengan cara jual beli atau dengan cara-cara lain yang berujung pada peralihan hak atas tanah, termasuk diantaranya menggunakan dokumen sertifikat tanah sebagai agunan pinjaman dana di Bank.

Banyak kita jumpai pengajuan pinjaman dana ke perbankan dengan agunan sertifikat tanah yang digunakan untuk konsumtif dan bukan untuk modal usaha. Terlebih, banyak iklan promo atau penawaran-penawaran pinjaman dengan bunga rendah dan lain sebagainya yang dapat menarik perhatian masyarakat pemilik sertifikat tanah. Dampaknya, diantaranya terjadi kredit macet yang berujung pada penyitaan oleh pihak Bank atas tanah sebagaimana yang tertera dalam dokumen sertifikat tanah yang menjadi agunan. Akhirnya masyarakat yang awalnya menjadi pemilik tanah, maka berubah menjadi masyarakat yang kehilangan  tanah.

Memperhatikan fakta yang demikian, maka dapat dikatakan kalau program sertifikasi hak atas tanah itu ibarat pedang bermata dua. Disatu sisi bahwa terbitnya dokumen sertifikat tanah bermakna penguatan hak atas tanah bagi masyarakat pemilik tanah, akan tetapi disisi yang lain terdapat potensi ancaman yang dapat menyebabkan masyarakat kehilangan atau terempas hak-haknya atas tanahnya. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah dari Pemerintah (khususnya Pemerintah Daerah) sebagai upaya pencegahan yang dapat menanamkan pemahaman mengenai makna yang sesungguhnya atas dokumen sertifikat tanah dan bagaimana cara penggunaannya yang tepat.

Apalagi untuk Kabupaten Lamongan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2019 telah menjadi bagian dari kawasan percepatan pembangunan ekonomi di Jawa Timur. Bahwa percepatan pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan pertumbuhan investasi. Penunjang dari kebijakan ini sudah dapat dipastikan adalah ketersediaan tanah yang dibutuhkan oleh para investor yang akan menanamkan sahamnya di wilayah Lamongan.

Ketersediaan tanah menjadi penting yang akan difungsikan sebagai lahan kegiatan industrialisasi. Para investor biasanya akan berusaha untuk melakukan pembebasan lahan yang dibutuhkan. Sudah banyak contohnya di berbagai tempat dimana setiap investasi di daerah selalu diikuti dengan kebutuhan lahan dan akhirnya berujung  pada pembebasan lahan. Artinya, jika kurang hati-hati penyekapannya, bahwa masuknya investasi ke daerah, dapat berpotensi mengancam kepemilikan hak atas tanah dari masyarakat. Sebab, pola yang sering digunakan untuk mendukung investasi adalah pola pembebasan lahan.

Padahal, seharusnya masih sangat mungkin untuk dibangun pola lain agar masuknya investasi itu benar-benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Diantara pola yang sesungguhnya memungkinkan untuk digunakan yaitu pola pemberian kesempatan bagi pemilik lahan untuk menjadi pemilik saham dalam pembangunan industri. Itu artinya, bahwa masyarakat pemilik lahan yang dibutuhkan oleh investor tersebut, diberi kesempatan berinvestasi juga dengan lahannya tersebut.

Sehingga masyarakat pemilik lahan diposisikan sebagai mitra bagi para investor tersebut. Andai saja pola tersebut yang digunakan, maka masuknya investor dan industrialisasi tidak akan bermakna sebagai pembebasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan pola yang demikian, juga akan melindungi kesejahteraan masyarakat baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka Panjang. Karena Tanah itu merupakan bagian dari sumber kehidupan, maka hilangnya hak atas tanah berarti sama dengan penghilangan bagian dari sumber kehidupan.

* Peneliti Hukum dan Kebijakan Publik Forum IDeA dan Staf Pengajar FH UTM

Tinggalkan Balasan