HARI KEMENANGAN KITA

Oleh: Moh. Ilyas (Pemerhati Sosial Politik)*

KUMANDANG takbir bergemuruh di sudut perkampungan ini. Sedari lepas sholat Magrib atau buka puasa terakhir di bulan Ramadhan tahun ini, lantunan kalimat takbir terus menggema.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha Illallaah Wallahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamdu”. Begitulah kumandang Takbir yang terus bersahutan, sebuah suasana yang jarang ku dapati di Ibu Kota.

Gema takbir ini memekakkan telinga. Suaranya yang didengungkan secara khusyu’ juga telah menyentuh nurani dan kalbu kita.

Bahkan sejatinya bukan hanya itu yang terjadi. Takbir telah menjadi “pintu gerbang” kejujuran pengakuan kita terhadap Sang Khaliq, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di setiap kalimat takbir senantiasa terkandung kesadaran akan kebesaran Ilahi. Di setiap kumandang “kalimat thayyibah” ini, termaktub puji-pujian yang hanya pantas kepada-Nya.

Sebuah Kemenangan

Berbahagialah kita yang menyempurnakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Berbahagialah kita yang selalu mencoba memaksimalkan ibadah kita dengan melawan segenap hawa nafsu yang terus ingin menggoda kita.

Jika ini yang kita capai, maka kita akan segera menyambut momen kemenangan ini dengan kebahagiaan tiada tara. Kenapa? Karena kemenangan ini tak bernilai harganya.

Kemenangan ini bukan hanya menyangkut kemenangan fisik, tetapi juga sekaligus metafisik. Kemenangan ini bukan hanya kemenangan jasmaniah, tapi sekaligus ruhiyah, kemenangan batiniyah.

Nilai dari kemenangan ini sangat tinggi dibanding kemenangan-kemenangan yang ditampilkan seperti dalam peperangan fisik pada lazimnya. Alasannya karena sejatinya peperangan di bulan Ramadhan bukan peperangan melawan senjata, bukan pula melawan granat dan bom molotov, tetapi kemenangan melawan hawa nafsu.

Dalam sebuah literatur kesejarahan Nabi 1400 tahun yang lalu, usai menjalankan perang Badar, Nabi masih menyampaikan kepada para sahabatnya jika ada perang yang jauh lebih besar daripada perang ini. Mendengar itu, para sahabat kaget, sehingga mereka pun bertanya, perang apakah itu ya Rasulallah? Nabi menjawab, itu adalah perang melawan hawa nafsu.

Sabda Nabi ini menegaskan bahwa nafsu harus diperangi, karena ia terus berusaha menggerogoti, memengaruhi, dan merusak akal pikiran kita. Hawa nafsu yang bersemayam dalam jiwa kita terus ingin menjadikan kita terpuruk, ingin membenamkan kita ke dasar kehinaan, dan ingin menghancurkan kita ke lembah kenistaan. Hawa nafsu menginginkan manusia mengikutinya dan meninggalkan suara nurani atau suara Tuhan (shautu adh-dhamiir).

Jika nafsu yang kemudian menghegemoni, maka fungsi hati pun menjadi tumpul. Hati tak lagi menjadi komandan perang dalam jiwa kita, tetapi ia sudah takluk pada nafsu yang dikendalikan oleh kekuatan syaithaniyah.

Nah, kemenangan di akhir Ramadhan ini atau tepatnya satu Syawal dianggap sebagai kemenangan yang dahsyat dan luar biasa. Sebab itu berarti manusia telah purna melaksanakan perang melawan hawa nafsunya. Perang melawan rasa lapar, rasa dahaga, rasa ingin berbuat jahat, dan seterusnya yang dilarang pada bulan puasa maka jika orang mampu melewati itu semua sejatinya kita telah menang melawan hawa nafsu. Bukankah selama ini ada banyak shaim  (orang yang berpuasa) tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya? Mereka boleh saja tidak makan atau juga tidak minum tetapi mereka gagal menahan gejolak nafsu yang membara sehingga kesombongan tetap ditampilkan, amarah, rasa ‘ujub, riya’, keinginan untuk merampok uang negara, korupsi, dan tetap melihat atau mendengar sesuatu yang dilarang, nafsu-nafsu ini sebenarnya telah menaklukkan kita, sehingga bukan kemenangan yang kita raih, tetapi kegagalan dan kekalahan.

Oleh karenanya, kemenangan ini harus dirayakan karena ia sudah benar-benar teruji. Etape perjalanan Ramadhan kita, mulai dari Rahmah (kasih sayang) Maghfiroh (ampunan), dan ‘Ithqun min annar (pembebasan dari api neraka) sudah berhasil dilewati dengan sempurna.

Ketika kita melewati fase ini, sungguh kemenangan telah ada di genggaman kita dan kita akan segera menjadi manusia yang fitri, pribadi yang tak lagi memiliki noda dalam kalbu. Kita kembali seperti bayi yang baru dilahirkan dengan penuh kesucian atau meminjam teori Tabularasa dari Filsuf John Locke bahwa manusia bagaikan kertas putih.

Semoga Ramadhan ini mengantarkan kita kembali ke fitrah, sehingga kita menjadi insan Fitri, insan dengab jiwa yanh kembali kosong tanpa noda dan bekas oretan apa pun.

_Wallahu A’lam bi Al-Shawab_

*Rumahku, Kadur, Pamekasan, 25 Juni 2017

Tinggalkan Balasan